“Dalam sulukmu janganlah banyak membaca teori!” Itu nasihat Mursyid kami, pada suatu kesempatan suluk yang kebetulan tengah berbarengan dengan anak-anak muda trengginas yang terbiasa bergumul dengan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka ahli ilmu. “Sebab apa yang engkau baca itu akan membentuk suatu imej dalam ruang imajinasimu.” (suatu konstruksi pemahaman atau konsepsi). “Ketika Guru tengah memperjalankan ruhanimu, engkau diminta untuk berfokus pada apa yang kau alami dan rasakan, engkau akan mendapat pelajaran dari apa yang engkau temui dalam perjalanan ruhanimu. Jika Guru bertanya padamu, apa yang engkau rasakan dalam perjalanan suluk ini, maka engkau akan bisa menjawabnya dengan apa yang engkau temui/alami,” lanjut beliau memperjelas nasihatnya.
“Jika engkau baca teori kemudian engkau ditanyakan itu, maka jawabanmu nanti akan mencocok-cocokkan dengan teori yang kau baca tadi. Ibarat engkau membaca tentang Teh, Teh adalah minuman yang dibuat dari larutan daun teh yang rasanya sepet dan wangi serta enak jika ditambahi gula.” Ketika engkau ditanya, Guru telah memberimu minuman (ruhani), apa yang engkau rasakan? Maka engkau akan mencoba menyesuai-sesuaikan dengan konsep (yang sebelumnya telah tertanam dalam ruang imajinasi) tentang teh tersebut, meskipun sebenarnya yang kamu rasakan, misalnya pahit, sebagaimana kamu meminum larutan daun brotowali.” Padahal, hal itu sebenarnya menunjukkan suatu kondisi yang lebih krusial dalam proses pendidikan rohani ini, apakah jiwamu berstatus sehat atau sedang sakit sehingga tidak mampu merasakan manisnya gula dalam minumanmu,” demikian beliau semakin mendetailkan kepada kami.
Suluk sejatinya adalah proses pendidikan dengan metode “nurun ‘ala nurin.” Sebuah metode iluminasi ruhaniyah dari hati guru pada hati murid yang bersumber dari segela sumber cahaya itu sendiri (Rasulullah SAW). Sehingga dalam proses pencahayaan itu pastinya akan ada aksi dan reaksi kimiawi dalam hati sang murid. Di sinilah titik konsentrasi salik harusnya difokuskan. Hal ini hanya akan bisa dilakukan jika tanpa dicampuri oleh apapaun itu, baik berupa keinginan-keinginan/khowatir ala hawa nafsu ataupun gambaran-gambaran ala nafsun natiqhoh (pikiran).
Dari sinilah akan lahir ilmu-ilmu hakikat yang akan mengokohkan perjalanan ruhani kita setelah di-tashih-kan pada sang Mursyid atau pembimbing ruhani salik. Dan dalam konteks ini pulalah setiap murid diwajibkan untuk melaporkan “haal/ahwal” kondisi ruhani murid pada Mursyid setiap waktu diperlukan.
Dengan penjelasan ini Guru hendak melatih kita agar selalu berkonsentrasi pada ruhani kita, pada apa yang terjadi dalam ruhani kita sepanjang pelaksanaan riyadhoh/mujahadah suluk ilahiyah itu. Itulah tawajjuh. Suatu disiplin rohani yang didawamkan secara terus-menerus dalam ruhani kita. Termasuk di dalamnya, adalah; melihat, mengawasi dan mewaspadai apapun yang terjadi pada ruhani kita selama penempuhan suluk ilahiyah. Jangan sampai ada suatu apapun yang mendistraksi kita, mengalihkan konsentrasi ruhani kita, hatta jika ia berupa pengetahuan, ilmu, teori atau konsepsi kita yang terkait dengan ajaran tasawuf sekalipun. Bukankah dikatakan bahwa hijab ruhani tidak hanya berupa kegelapan nafsani akan tetapi juga bisa berupa cahaya, nur, atau ilmu itu sendiri.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
إنّ الله سبعین ألف حجاب من نور و ظلمة
“Sesungguhnya Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab-hijab dari cahaya dan kegelapan.” (Allamah Majlisi, Biharul anwar, jld. 55. hal. 45)
Dalam sebagian hadis dijelaskan juga jumlah lain hijab-hijab antara Tuhan dan makhluk, antara Tuhan dan Rasulullah SAW, antara Tuhan dan ‘Arsy, serta antara Tuhan dan malaikat-malaikat. Di antaranya tujuh puluh hijab, tujuh hijab, delapan belas hijab, sembilan puluh hijab, delapan belas ribu hijab, dan tiga ratus enampuluh ribu hijab, serta bahkan jumlahnya yang tanpa batas.
Maka benar adanya bagi salik untuk mentaati apa yang diasaskan oleh mursyidnya, bahwa hendaklah ia tidak salah berkonsentrasi. Hal ini juga sebagai salah satu pelaksanaan dari adab Nadhor bar Qodam (melihat pada kaki) dalam perjalanan ruhani. Yakni, agar tidak melihat hal-hal yang tidak perlu, tidak terlalu banyak menoleh, tidak juga melihat pada jarak yang jauh. Sehingga memberi efek yang bisa mewarnai hati dengan warna-warni yang talwin, tidak konsisten dan membawa pada kelalaian.
Memfokuskan konsentrasi pada haal-ahwal ruhani dalam perjalanan suluk adalah salah satu bentuk praktik melihat pada tapak kaki (nadhor bar qodam). Dalam hal ini adalah upaya mendisiplinkan pikiran kita agar tidak terlalu menyerap (mengkonstruksi) gambaran-gambaran yang tidak diperlukan bagi perkembangan ruhaniayah kita. Dengan demikian kita akan mudah terbebas dari kungkungan teoritis atau paradigma yang selalu membungkus pemikiran manusia akibat terbiasanya ia dengan cara berpikir tertentu dalam kehidupannya. Akhirnya, salik akan mudah memetik pelajaran-pelajaran yang muncul dalam pengalaman ruhaninya sendiri. Artinya penjelasan yang hadir berpusat pada hatinya, pada apa yang terbit dari cahaya hatinya bukan berpusat pada konsepsi luaran yang meskipun itu kebenaran. Kebenaran yang haqiqi (telah ditahqiq) adalah yang terbit dari hati salik yang bening dan akan muncul dengan cara-cara yang sahih! Karena tugas salik adalah mengalami kebenaran itu sendiri bukan sekadar mengetahui secara informatif.
Hal ini sejalan dan senafas dengan tuntunan Mursyid kita, bahwa “Jika engkau membaca manaqib atau ajaran-ajaran Guru-guru itu untuk mengetahui keadaanmu, maqommu, posisimu ada di mana.” Jadi, dengan demikian kita membaca bukan untuk terserap dan tenggelam dalam sebuah konsepsi/pengetahuan akan tetapi melampauinya dengan menjadikannya sebagai pepadang guna memperjelas keadaan atau posisi ruhani kita.
Maka, merdekalah!
Oleh Fuad al-Athor
Sumber: https://jatman.or.id/merdeka-dari-teori-dalam-suluk/
Leave a Reply