Kita telah membaca 3 silsilah guru setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yakni, pertama, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Sayyidina Salman Al-Farisi dan Sayyidina Qasim radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Dari Sayyidina Abu Bakar kita melihat bahwa beliau adalah orang yang shiddiq, (orang yang tidak banyak berfikir tentang apa yang disampaikan Rasul karena sangat yakin dengan apa yang dikatakan Rasul dan karena tinggi keimanan beliau kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga iman umat manusia di dunia ini, jika dibandingkan iman Sayyidina Abu Bakar, maka masih berat imannya Abu Bakar Ash- Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh.
Kedua, dari Sayyidina Salma al-Farisi, kita melihat, beliau yang semula berasal dari orang dengan kedudukan mulia, harus mengembara menempuh perjalanan panjang untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sampai menyerahkan semua hartanya, dan dijual sebagai budak. Semua itu hanya agar ia bisa dibawa menuju kampung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Akhirnya, dengan bekal ilmu-ilmu yang telah didapat sebelumnya ia meyakini dan beriman bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang Rasul (utusan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau mendapat kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dimasukkan dalam ahli bait Rasul. Rasul memuji beliau sebagai “Ahlul awwalin wal akhirin” orang yang pandai dalam kitab-kitab (ilmu-ilmu) terdahulu dan ahli terhadap apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Ketiga, Imam Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar yang sejak kecil mendapat pendidikan langsung dari ummul mukminin Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Menghafal al-Qur’an dan sunnah Nabi langsung dari isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga beliau menguasai ilmu ke-ulama-an yang sempurna. Setelah dewasa barulah Ibu Aisyah menyerahkan beliau kepada kakaknya, yakni ‘Abdurrahman bin Abu Bakar. Namun, meski Sayyidina Qasim telah tinggal bersama pamannya, ia tetap terkenang akan pendidikan dan kelembutan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Apalagi, ketika “mondok” di rumah Ibu Aisyah, ia tinggal sangat dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia juga dekat dengan kakeknya (Sayyidina Abu Bakar) dan Sayyidina Umar bin Khattab, karena maqom Rasulullah dan kedua sahabatnya itu berada di dalam kamar Siti Aisyah. Beliau, Sayyidina Qasim adalah ahli fikih (ulama) yang sangat tawadlu (bersih akhlaknya).
Sekarang kita akan menelaah penerus beliau, pewaris sajadah kemursyidan dari Sayyidina Qasim, yakni al-Imam al-Hadziq (seorang imam yang cakap lagi cerdas), Sayyidina Ja’far Ash-Shodiq bin Imam Muhammad Baqir bin Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Imam Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum ajma’in. Beliaulah yang dijuluki majma’ul bahraini, tempat berhimpunnya dua samudera. Juga dijuluki multaqon nahroin tempat bertemunya dua aliran sungai. Dia adalah putera Imam Muhammad Al-Baqir, putera imam Ali Zainal Abidin (As-Sajjad), putera Sayyidina Husein putera sayyidah Fathimah binti Rosulillah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sayyidina Husein menikahi seorang puteri Persia (sebagaimana diceritakan dalam manaqib Sayyidina Qasim) melahirkan Sayyidina Ali Zainal Abidin, yaitu satu-satunya putera Sayyidina Husein yang selamat dari peristiwa Karbala. Sayyidina Ali zainal abidin menikah dengan fathimah, puteri sayyidina Hasan/kakak Sayyidina Husein. Terlahirlah Muhammad (yang dijuluki Al-Baqir). Muhammad Al-Baqir menikah dengan Ummu Farwah puteri Sayyidina Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq lahirlah Imam Ja’far Shadiq. Sehingga dalam diri Imam Ja’far Shadiq terkumpullah nasab dari Rasulullah Shalllahu ‘AlaihiWasallam (jalur ayah) dan nasab dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq (jalur ibu). Beliau Imam Ja’far Ash-Shadiq Radhiyallahu ‘anh dilahirkan pada tanggal 8 Ramadhan tahun 83 Hijriyah. Beliau selalu tekun dalam beribadah dan khudlu (khusyu’ bathinnya). Beliau memilih hidup dalam ‘uzlah dan berpaling dari ambisi kepemimpinan serta berpaling dari menumpuk numpuk harta.
Demikian luar biasanya beliau dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga Umar bin Abil Miqdam berkata, “Aku bila melihat Ja’far (Ash-shadiq) putera Muhammad (Al-Baqir), (dengan melihatnya saja), aku tahu dia adalah keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Beliau disifati dengan majma’ul bahrain (tempat bertemunya dua lautan) karena dalam diri beliau terkumpul ilmu syari’at dan hakikat. Bahkan seluruh ulama madzhab 4 bersanad kepada beliau. Imam Abu Hanifah (penghulu madzhab Hanafi) datang kepada Sayyidina Ja’far menanyakan tentang sesuatu, “Wahai Syekh, seandainya manusia ini di neraka, dibakar dengan api, maka pasti ia akan terbakar. Tapi bagaimana bila jin yang tercipta dari api dibakar dengan api?”
Sayyidina Ja’far Shadiq meminta kepada beliau, “Coba ambilkan batu bata itu.” Lalu batu itu dipukulkan kepada Imam Abu Hanifah seraya berkata, “Kamu dari tanah, batu bata ini pun dari tanah.” Dan banyak pula riwayat yang mengisahkan perjumpaan Imam Abu Hanifah kepada Sayyidina Ja’far Shadiq.
Berkata Malik bin Anas (Imam Madzhab Maliki), “Ja’far (Ash-shadiq) putera Muhammad (Al-Baqir) berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri (seorang ulama kerajaan yang dianggap paling alim), yang diminta oleh raja untuk berkhutbah, beliau (Sufyan Ats-Tsauri) berkata, “Aku tidak akan berdiri (untuk berkhutbah/berfatwa), sampai kamu (Imam Ja’far Shadiq) berbicara/berfatwa kepadaku lebih dulu.” Lalu Imam Ja’far Shadiq berkata kepadanya, “Aku mengatakan kepadamu. Apa kebaikan yang kamu dapatkan dari hadits-hadits yang banyak wahai sufyan? Bila Allah telah memberi nikmat kepada kamu dengan suatu kenikmatan, maka aku senang apabila kenikmatan itu tetap dan langgeng padamu. Oleh karena itu banyaklah kamu memuji kepada Allah dan bersyukur atas nikmat tersebut. Karena sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah berfirman dalam kitabnya:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Bila kamu bersyukur sungguh aku akan menambahkan kenikmatan-Ku”. (QS. Ibrahim/14 : 7)
Bila kamu dapati rizki dalam keadaan terlambat, maka banyaklah beristighfar (minta ampun) karena Allah ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya:
اسۡتَغۡفِرُوۡا رَبَّکُمۡ ؕ اِنَّہٗ کَانَ غَفَّارًا
یُّرۡسِلِ السَّمَآءَ عَلَیۡکُمۡ مِّدۡرَارًا
وَّ یُمۡدِدۡکُمۡ بِاَمۡوَالٍ وَّ بَنِیۡنَ
“Beristighfarlah (banyaklah minta ampun) kamu kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Tuhanmu maha pengampun. Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dari langit, dan Dia
akan memperbanyak harta dan anak-anak untukmu” (QS. Nuh/71 :10-12)
“Wahai Sufyan Apabila perintah sultan atau yang lainnya menyusahkan kamu maka perbanyaklah “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah,” karena itu adalah kunci pembuka dari segala keterjepitan dan merupakan suatu perbendaharaan dari perbendaharaan surga.” Maka Sufyan memegang tangan Ja’far Ash-Shodiq yang berkata, “Ikatlah kalimat-kalimat tersebut, Demi Allah, sungguh ini akan bermanfaat.” Itu adalah nasihat sayyidina Ja’far Ash-Shodiq kepada seorang ulama besar (Sufyan Ats-tsauri). Tentu saja nasihat itu pun mengena kepada sultan, pembesar kerajaan bahkan seluruh orang yang hadir. Hal ini juga menjadi nasihat kepada kita. Yakni di saat kita berada di hadapan guru, kita tidak boleh banyak berkhutbah. Bahkan ketika ada orang yang bertanya kepadamu, kamu tidak akan menjawabnya dan menyerahkannya kepada guru. Seandainya guru bertanya/bertimbang kepadamu pun, kamu akan mengatakan guru yang lebih tahu.
Berkata Sufyan Ats-Tsauri, aku datang sowan kepada Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir. Ketika itu beliau memakai jubah yang sangat indah/mahal, maka aku melihat beliau dengan penuh keheranan. Maka beliau, sayyidina Ja’far berkata, “Wahai Tsauri, apa yang kamu fikirkan ketika engkau melihatku, barangkali kamu heran terhadap apa yang kamu lihat?” Imam Tsauri berkata, “Wahai putera Rasulullah. Ini (jubah yang indah dan mahal) bukanlah pakaianmu dan bukan pula pakaian dari nenek moyangmu.” Maka sayyidina Ja’far Ash-Shadiq berkata kepadaku, “Wahai Tsauri, waktu (zaman dahulu) itu adalah zaman fakir, maka mereka (leluhurku) berbuat sesuai dengan ukuran kefakiran (keadaan)nya. Sekarang zaman telah maju dan segala sesuatu pada zaman ini telah mulia.” Beliau (Ja’far Ash-Shadiq) kemudian membuka jubahnya. Ternyata di dalam jubah yang indah itu ada jubah wol (sederhana) yang berwarna putih. Kemudian Sayyidina Ja’far Ash-Shadiq berkata kepadaku, ”Aku memakai jubah wol ini untuk Allah dan aku memakai jubah (indah) ini untuk (menghormati) dirimu. Maka apa yang untuk Allah, aku sembunyikan, dan apa yang untuk kamu aku tampakkan.”
Sebagian dari kalam beliau, Sayyidina Ja’far Ash-Shadiq:
- Beliau berkata, “Allah telah memberikan wahyu kepada dunia ini, “Wahai dunia berkhidmahlah kamu kepada orang yang berkhidmah kepada-Ku atau Jadilah kamu pelayan untuk orang yang menjadi pelayan-Ku dan payahkan/repotkanlah orang yang berkhidmah kepadamu/menjadi pelayanmu.”
- Imam Ja’far Shadiq berkata, ketika mengomentari firman Allah ta’ala:
اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ لِّلۡمُتَوَسِّمِیۡنَ
“Sesungguhnya dalam hal-hal tersebut, terdapat tanda tanda bagi orang yang memerhatikan” QS. Al-Hijr/15 : 75
Beliau mengatakan “mutawassimiin” artinya orang yang memiliki firasat/pemikiran mendalam. Lalu beliau berkata, “Bagaimana aku akan beralasan (tidak mengetahui tanda tanda/ayat-ayat Allah) padahal aku telah memiliki hujjah-hujjah (argumentasi), bagaimana aku akan mengajukan protes, padahal aku sudah mengetahui.”
- Beliau juga berkata, “Shalat merupakan pendekatan tertinggi bagi setiap orang yang bertakwa, dan haji adalah jihad bagi setiap orang yang lemah, zakatnya badan adalah berpuasa.”
- “Orang yang punya harapan-harapan/cita-cita tanpa disertai amal seperti orang yang melempar tanpa batu (memanah tanpa anak panah).”
- “Mintalah kamu akan turunnya rezeki dengan shodaqoh dan jagalah hartamu dengan membayar zakat.”
- “Tidak ada kerusakan bagi orang yang punya tujuan dan manajeman adalah separuh Kehidupan.”
- “Barangsiapa yang menyusahkan kedua orang tuanya berarti ia telah durhaka kepada keduanya.”
- “Barang siapa memukulkan tangannya kepada kedua pahanya di saat musibah maka telah leburlah pahalanya.”
- “Suatu pekerjaan tidak dikatakan pekerjaan kecuali bagi pemilik kemuliaan dan agama.”
- “Allah lah yang menurunkan kesabaran seukur dengan musibah yang ditimpakan. Dan Allah yang menurunkan rizki seukur dengan kebutuhan.”
- “Fuqoha adalah kepercayaan (pemegang amanat) para Rasul, jika kalian melihat mereka berkendara (menghadap) kepada Raja, maka cegahlah mereka.”
- “Tidak ada bekal yang lebih utama dari takwa, dan tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari diam. Tidak ada musuh yang lebih berbahaya dibanding kebodohan dan tidak ada penyakit yang lebih berhaya melebihi kebohongan.”
- “Jika sampai kepadamu sesuatu yang kamu tidak sukai dari saudaramu, carilah sampai 70 alasan (agar kamu bisa memaklumi/memaafkannya). Jika kamu tetap tidak bisa menemukannya, maka katakan, “Mungkin dia punya alasan yang aku tidak ”
- “Janganlah kamu semua makan dari tangan yang lapar sehingga ia kenyang.”
Di antara nasihat beliau kepada puteranya, yakni Imam Musa al-kadhim radhiyallaahu ‘anhumaa:
“Wahai anakku terkasih, siapa yang ridla dengan pembagian Allah untuknya, ia akan kaya (tercukupi). Barangsiapa memanjangkan pandangannya kepada sesuatu yang berada di tangan orang lain, ia akan mati dalam kefakiran. Orang yang memandang kecil kesalahannya, ia akan memandang besar kesalahan orang lain, sebaliknya, orang yang memandang kecil kesalahan orang lain, ia akan memandang besar kesalahan dirinya.”
“Wahai anakku terkasih, siapa yang membuka “hijab” orang lain, maka akan tersingkap “aurat/aib” dalam rumahnya, dan barangsiapa menghunus pedang seorang begal, ia akan terbunuh oleh pedang itu.”
“Barangsiapa menggali lubang untuk mencelakakan saudaranya, ia akan terjatuh di dalamnya. Siapa yang menghadap orang-orang yang idiot, ia akan menjadi hina sedangkan siapa yang bergaul dengan ulama hidupnya akan tenang. Dan barangsiapa memasuki tempat-tempat kejelekan, ia akan terjatuh (melakukan) kejelekan itu.”
“Wahai anakku terkasih, Hati-hatilah menegur orang lain, lalu (engkau melakukan kesalahan yang sama) sehingga itu menjadi teguran untukmu. Dan hati-hatilah masuk ke dalam hal-hal yang tidak patut sehingga kamu akan menjadi terpeleset/rendah oleh karenanya.”
“Wahai anakku terkasih, terhadap kitabullah, jadilah orang yang membacanya. Terhadap salam, jadilah orang yang menyebarkannya. Terhadap perkara yang ma’ruf, jadilah orang yang memerintahkannya. Terhadap perkara yang munkar, jadilah orang yang mencegahnya. Terhadap orang yang memutuskan, jadilah orang yang menyambungnya. Terhadap orang yang diam, jadilah orang yang menyapanya. Terhadap orang yang meminta-minta, jadilah orang yang memberinya.”
“Hati-hatilah terhadap namimah (mengadu domba), ia akan menumbuhkan permusuhan di dalam hati orang-orang dan menampakkan aib-aib manusia. Dan kedudukan orang yang suka membuka aib orang lain adalah sama dengan kedudukan “sasaran” bagi orang lain untuk membuka aib dirinya.”
Imam Ja’far Ash-Shodiq juga mengajarkan kalimat-kalimat do’a yang indah. Sebagian dari do’a Imam Ja’far Shodiq adalah:
“Ya Allah yang telah memuliakan hamba dengan ketaatan kepada-Mu, janganlah hinakan hamba
dengan kedurhakaan / kemaksiatan kepada –Mu”
Imam Ja’far Ash-Shodiq berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Jika engkau telah sampai di Baitullah al-Haram (Ka’bah), maka letakkan tanganmu di dindingnya dan ucapkan:
“Wahai Dzat yang (ketentuanNya) mendahului (segala hal) yang terlewat/ hilang,
Wahai Dzat yang maha mendengar suara, wahai Dzat yang melapisi tulang dengan
daging setelah mati”, setelah itu berdo’alah sekehendakmu.
Imam Ja’far Ash-Shodiq wafat di kota Madinah Al-Munawwarah, bulan Syawwal 148 Hijriyah. Beliau dimakamkan di Kubah Ahli Bait radhiyallahu ‘anhum (semoga Allah meridloi mereka semua).
Catatan tambahan :
- Pada khutbah Ja’far Ash-Shodiq di hadapan Imam Tsauri yang diminta berkhutbah oleh raja, Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan, “Aku senang jika kenikmatan itu tetap dan langgeng padamu. Oleh karena itu banyaklah kamu memuji kepada Allah dan bersyukur atas nikmat tersebut. Bersyukur itu apa? Bersyukur artinya menggunakan kenikmatan yang diberikan sesuai dengan yang diridloi/disenangi Allah.”
- Mbah Nahrawi berkata, “Bila kamu diberi rizki banyak oleh Allah, maka berilah belanja anak-anakmu dengan uang yang banyak, bila sedikit, kasilah sedikit.”
- Imam Ja’far Shadiq juga memberi pelajaran akan cara berpakaian, yang menyesuaikan dengan keadaan dan kemuliaan beliau. Yakni ketika menemui Sufyan Ats- Tsauri dengan jubah yang indah, tetapi di dalam jubah indah itu ada jubah wol yang sederhana.
- Salah satu pesan penting Imam Ja’dar Shadiq kepada Sufyan Ats-Tsauri ketika mengalami kesulitan adalah agar beliau membaca “Laa hawla walaa quwwata illaa ” Di dalam thariqah Naqsyabandiyah bacaan ini dikenal dengan sebutan Amal Khatam Rabbani. Maka kita dianjurkan untuk memperbanyak membacanya dalam kesulitan atau di setiap kesempatan lainnya. Ini akan “ngrenggangke” (melonggarkan) segala bentuk krisis dan kesulitan.”
Bagan 3:
Silsilah Keluarga Imam Ja’far Shadiq Radhiyallahu ‘Anh
Leave a Reply