Sebelumnya kita telah menelaah kemuliaan-kemuliaan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh, sahabat yang dipilih oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menemani beliau, di mana saja. Ketika hadir/mukim maupun ketika perjalanan, dalam keadaan bahaya maupun saat situasi aman. Sungguh besar perhatian dan pengorbanan beliau, yang menemani, menghibur dan membantu perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kini kita lanjutkan kepada Sahabat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anh. Beliau termasuk dari silsilah guru-guru Thariqah Naqsyabandiyah setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh. Ayah beliau termasuk orang yang terpandang dari Kabilah Bani Hayi di negeri Asbihan, Iran (Persia). Ia adalah seorang Majusi.
Dalam suatu perjalanan, beliau, Sayyidina Salman sampai di sebuah gereja Nasrani. Ketika Sayyidina Salman melihat mereka membaca Kitab Injil dengan khusyu’ dan khudlu’, hati beliau menjadi tidak senang dengan penyembahan api dan agama Majusi seraya menyatakan kepada mereka, jemaat gereja itu, akan cintanya kepada agama Nasrani. Namun beliau merasa lemah, karena hal itu dilarang oleh ayahnya. Maka jemaat gereja itu membantu beliau untuk keluar dari Persia menuju negeri Syam.
Di negeri Syam beliau bergaul dengan pembesar-pembesar pendeta dan berkhidmah kepada mereka. Hingga beliau Sayyidina Salman berkhidmah kepada 17 orang pendeta. Ketika pendeta terakhir – yang kepadanya Sayyidina Salman bersuhbah – akan meninggal, Sayyidina Salman meminta petunjuk, kepada siapa lagi beliau akan bershuhbah sepeninggalnya. Pendeta itu berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, siapa orang yang aku harus tunjukkan kamu kepadanya sekarang ini. Tetapi sekarang ini, sungguh telah dekat masa terutusnya Nabi akhiruz zaman”. Maka pendeta tersebut memberitahu kepada beliau akan tanda/ciri-ciri Nabi Akhir Zaman, syamail (bentuk fisik) nya, peringai/karakternya. Beliau juga menunjukkan tempat nabi itu akan diutus, tempat beliau akan hijrah serta tanda-tanda kenabiannya.
Setelah uskup tersebut meninggal, demi untuk bertemu dengan Nabi Akhiruz Zaman sebagaimana ditunjukkan Uskup, Sayyidina Salman bergabung dengan suatu kafilah (rombongan dagang) yang akan menuju Hijaz (Makkah-Madinah).
“Siapa yang mau mengantarkan aku ke sebuah kota, yang di sana, ada orang yang mengaku sebagai Nabi?”
Kafilah itu bersedia mengantarkan asalkan Sayyidina Salman menyerahkan semua hartanya. Beliau setuju dan memberikan semua yang beliau miliki kepada kafilah tersebut. Namun, ketika mereka sampai di Wadil Quro (Kota Makkah), rombongan kafilah tersebut mengkhianati perjanjianya kepada Sayyidina Salman, dan menjual beliau kepada seorang Yahudi, yang bernama Abul Asyhal. Abul Asyhal ini memiliki sepupu dari Yahudi Bani Quraidzah yang tinggal di kota Madinah. Suatu hari sepupunya datang ke Makkah dan Sayyidina Salman dijual kepadanya lalu beliau dibawa ke rumahnya di Madinah untuk dipekerjakan di perkebunan Kurma.
Suatu ketika, Sayyidina Salman bertanya kepada tuannya, “Apakah di sini ada seorang yang mengaku sebagai Nabi dan Rasul?” Majikannya menunjukkan siapa yang dimaksud oleh Sayyidina Salman. Majikannya ini bersikap baik karena, ternyata, ia pun berasal dari Iran.
“Kalau kamu ingin mengetahuinya, tunggulah, biasanya setiap malam habis isya’, para sahabatnya yang akan menemuinya lewat di sini” kata majikannya. Benar saja, pada malam harinya Sayyidina Salman melihat rombongan sahabat yang akan menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sebelum ikut menemui Nabi, Sayyidina Salman menyiapkan kurma yang ia kumpulkan dari jatah makan sebagai oleh-oleh untuk Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Setelah dirasanya pantas, ia bergabung dengan para sahabat yang akan ber-shuhbah dengan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sesampainya di hadapan Rasul, ia mengenalkan diri seraya berkata “Saya Salman dari Persia. Saya datang untuk menghaturkan sedekah kepada tuan.” Ketika Sayyidina Salman mengatakan sedekah, Rasul berkata kepada para sahabat agar mereka memakan kurma itu. Karena Rasulullah tidak menerima sedekah. Inilah salah satu ciri kenabian yang diceritakan Uskup kepada Sayidina Salman, yakni ia menerima hadiah, tapi tidak menerima sedekah.
Kemudian selama beberapa hari Sayyidina Salman mengumpulkan lagi jatah-jatah makan beliau. Dan setelah terkumpul, beliau menghadap lagi kepada Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan para sahabat seraya berkata, “Aku menghaturkan hadiah kepada Tuan”. Rasul tertawa, mengambil dan makan dari kurma itu. Maka sayyidina Salman semakin meyakini bahwa beliau adalah Rasulullah (utusan Allah).
Kali ketiga, Sayyidina Salman mengumpulkan lagi jatah makan beliau, lalu kembali menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun kali ini, beliau meminta izin untuk duduk di belakang Rasul. Rasulullah tahu maksud Sayyidina Salman. Maka Rasul membuka sedikit baju beliau, hingga tampaklah khotamun Nubuwah (stempel kenabian) di punggung Rasul. Sayidina Salman benar-benar mantap dan menyatakan keislamannya.
Sayyidina Salman menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kisah perjalanannya dari Asbihan sampai ke Madinah dalam pencariannya hingga bertemu beliau, Nabi Akhir Zaman. Nabi sangat senang dan takjub mendengar lika-liku kisah perjalanan Sayyidina Salman dan memerintahkan kepada para sahabat untuk mendengar kisah perjalanan beliau. Peristiwa itu terjadi pada tahun ke-5 setelah hijrah.
Suatu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Sayyidina Salman radhiyallahu ‘anh, “Bebaskan dirimu dari perbudakan makhluk”. Maka Sayyidina Salman meminta kepada tuannya agar dirinya dibebaskan. Setelah terjadi pembicaraan, tuannya bersedia memerdekakan Sayyidina Salman radhiyallahu ‘anh, dengan syarat, Sayyidina Salman harus menanam 300 pohon kurma dan memeliharanya sehingga pohon-pohon itu berbuah serta membayar 40 uqiyah emas. Sayyidina Salman pun melaporkan hal tersebut kepada Nabi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada para sahabat, “Bantulah saudaramu”. Maka para sahabat mengumpulkan 300 pohon kurma dan menghaturkannya kepada Nabi. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanam 300 pohon tersebut dengan tangan beliau sendiri yang mulia, kecuali satu pohon yang ditanam oleh Sayyidina Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anh.
Biidznillah (dengan izin Allah), berbuahlah semua pohon kurma itu pada tahun tersebut, kecuali satu pohon yang ditanam oleh Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anh. Maka Rasul mencabutnya dan menanamnya dengan tangan beliau yang mulia. Seketika berbuahlah pohon kurma itu. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan emas sebesar telur ayam, yang diambil dari harta ghanimah, diserahkan kepada Sayyidina Salman sebagai syarat pembebasannya dari perbudakan. Setelah bebas dari perbudakan, Sayyidina Salman selalu bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam setiap peperangan.
Dikatakan bahwa, Sayyidina Salman, ditebus oleh 17 orang sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar. Sehingga mereka berselisih apakah beliau ini masuk dalam golongan Muhajirin atau Anshar? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Salman (bukan muhajirin atau Anshar, ia) adalah termasuk ahli bait kami”
Sungguh hadits ini mencukupi untuk menetapkan kemuliaan Sayyidina Salman di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadikan beliau ahli bait, meskipun secara nasab, beliau tidak tergolong ahli bait. Sehingga Sayyidina Ali mengucapkan syair:
Sungguh beruntung, dengan Islam, Salman Al-Farisi
Sungguh sial, dengan kebodohan, “orang yang mulia nasabnya”, Abu Lahab
Ketika Nabi mendengar penyerangan Pasukan Ahzab (pasukan koalisi musyrikin Makkah dan yahudi Bani Nadzir), Salman radhiyallahu ‘anh mengusulkan kepada Nabi shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menggali parit (khandaq) mengitari Madinah, dan Rasulullah pun menyetujuinya. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun turut menggali parit dengan tangan beliau yang suci karena mengharap ganjaran serta untuk memberi semangat para sahabat lainnya. Pada saat penggalian berlangsung, Sayyidina Salman kesulitan membongkar batu besar di hadapannya, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada di dekat beliau. Melihat Salman radhiyallahu ‘anh yang kesulitan, Rasulullah turun, mengambil palu besar dan dengan mengucap “bismillaah” beliau memukul batu itu, hingga pecahlah batu itu sepertiganya. Pada saat Rasul memukulkan palu, muncul kilatan cahaya karena benturan palu atas batu tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan untuk kedua kalinya hingga terlihat lagi kilatan cahaya, dan batu itu pecah sebagian lagi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan palu untuk ketiga kalinya, hingga berkilat cahaya terang dari pukulan itu. Sayyidina Salman radhiyallahu ‘anh bertanya, “Demi ayah dan ibuku, Wahai Tuan, apakah yang aku lihat di dalam cahaya yang berkilat ketika engkau memukul batu itu?”
“Apakah engkau melihatnya, wahai Salman?”
“Benar ya Rasulallah”
“Pada pukulan yang pertama, Allah membukakan untukku negeri Yaman. Pada pukulan yang kedua, Allah membukakan untukku negeri Syam dan maghrib (negeri-negeri wilayah barat). Dan pada pukulan ketiga, Allah membukakan untukku negeri-negeri masyriq (timur)”
Dalam hadits (kisah khandaq) di atas, tampaklah basyiroh “sinyal ilahiyah” bahwa di dalam thariqah yang diwariskan dari beliau, Sayyidina Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anh, meniscayakan adanya mujahadah-mujahadah, kesulitan-kesulitan, dan “kealotan, kealotan” yang luar biasa, pada awalnya. Juga menunjukkan dengan jelas, tampaknya tajalliyaat (penyingkapan dan penampakan hakikat) pada akhirnya, serta tahapan tahapan dalam futuh (keterbukaan hati).
Catatan Shuhbah Bersama Syaikhina wa Murobbi Ruuhina
Abah Kyai Irfa’i Nahrowi An-Naqsyabandi Quddisa Sirruh
Leave a Reply